Teori nilai dalam ilmu ekonomi (Theory of value)

Teori nilai dalam ilmu ekonomi merupakan teori yang mencoba menjelaskan asal nilai suatu barang dan jasa, mengapa sesuatu berharga dan dapat diperdagangkan pada harga tertentu, serta bagaimana manusia bisa memperoleh keuntungan. Pada dasarnya perkembangan teori ini terbagi ke dalam dua periode, yaitu (1) periode klasik, termasuk periode Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx; serta (2) periode neo-klasik, termasuk periode Carl Menger, Eugen von Boehm-Bawerk, dan pakar-pakar ekonomi saat ini.

Daftar isi

Pelajaran ini membahas: (1) Teori objektif (klasik); (1.1) Teori nilai kerja; (1.1.1) Nilai guna atau nilai pakai; (1.1.2) Nilai tukar; dan (1.2) Teori subjektif (neo-klasik).

Teori objektif (klasik)

Teori-teori nilai pada masa klasik ini menitikberatkan perumusan nilai dari sisi produksi dan bukan pada situasi saat terjadi pertukaran barang atau jasa.[1] Teori ini sering disebut dengan teori nilai intrinsik karena menganggap nilai suatu barang adalah intrinsik, atau dapat diukur dengan ukuran yang objektif. Kebanyakan ukuran dilihat dari proses produksi, yaitu biaya-biaya yang terlibat dalam proses tersebut, misalnya biaya bahan baku, tempat/tanah (land), dan tenaga kerja.

Oleh Fotoworkshop4You | Pixabay
Oleh Fotoworkshop4You | Pixabay

Teori nilai kerja

Sesuai dengan penjelasan sebelumnya. Teori ini mencoba menjelaskan asal terbentuknya harga, yaitu dari banyaknya kerja (labour) yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu barang.

  • Adam Smith: "Harga sebenarnya dari setiap hal adalah kerja keras dan kesulitan mendapatkannya."
  • David Ricardo: "Nilai suatu komoditas, atau jumlah komoditas lain yang akan ditukar, tergantung pada jumlah relatif tenaga kerja yang diperlukan untuk produksinya"[2]
  • Karl Marx: "Kita melihat kemudian bahwa apa yang menentukan besarnya nilai suatu objek adalah jumlah tenaga kerja yang diperlukan secara sosial, atau waktu tenaga kerja yang diperlukan secara sosial (socially necessary) untuk produksinya"[3]

Pandangan Marx sedikit berbeda dengan yang lain karena ia menggunakan istilah socially necessary yang menilai kerja bukan dari individu, tetapi dari rata-rata kumpulan individu. Misalnya dalam satu wilayah ada tiga orang yang memproduksi tempe dengan kualitas yang sama, sebut saja A, B, dan C. Ketiganya sama-sama membutuhkan waktu satu jam untuk membuat satu kotak tempe. Maka bisa dikatakan satu kotak tempe bernilai satu jam tenaga kerja yang diperlukan secara sosial. Lalu, keuntungan akan timbul ketika ada produsen yang bisa memproduksi satu kotak tempe dalam waktu di bawah waktu yang diperlukan secara sosial.

Marx sebenarnya tidak secara eksplisit menyebutkan teori nilai kerja karena pokok pikirannya adalah hukum nilai dari komoditas (law of the value of commodities) atau disingkat hukum nilai (law of value) saja. Dari pikiran Marx ini kemudian muncul dua konsep nilai, yaitu konsep nilai guna/pakai dan konsep nilai tukar yang terpisah.[3] Meskipun sebenarnya konsep ini juga telah dijelaskan oleh Adam Smith secara singkat, tetapi Marx-lah yang membahas dengan lebih terperinci.

Nilai guna atau nilai pakai

Nilai guna disebut juga nilai pakai (utility) adalah fitur berwujud yang dimiliki oleh komoditas untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia. Menurut Marx setiap produk memiliki nilai guna dan nilai kerja, dan kemudian kalau diperdagangkan menjadi komoditas, akan memiliki nilai tukar.[4]

Nilai tukar

Nilai dari hubungan pertukaran antara nilai guna satu hal dan lainnya, antara jumlah tertentu dari satu produk dan jumlah tertentu dari yang lain. Hubungan ini selalu berubah dengan tempat dan waktu, sehingga sifatnya relatif. Nilai tukar ini tidak dinyatakan dengan uang, tapi kuantitas satu komoditas ditukar dengan komoditas lain.[5] Misalnya satu kilogram beras ditukar satu kilogram gandum.

Teori subjektif (neo-klasik)

Teori subjektif merupakan teori nilai yang berlandaskan ide bahwa nilai tidak berasal dari sifat yang melekat pada barang maupun jumlah kerja yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut, akan tetapi bisa berbeda-beda berdasarkan pemenuhan keinginan atau kebutuhan seseorang akan barang tersebut (disebut kepuasan).[6] Misalnya saja pelukis lebih menghargai kanvas dan cat lebih dari orang-orang yang bukan pelukis, pecinta kopi akan menghargai kopi lebih tinggi dari orang-orang yang tidak suka kopi, dll. Intinya orang-orang memiliki selera-selera yang berbeda, dan mereka menilai sesuatu secara berbeda.

Teori nilai ini juga memperkenalkan konsep marginalism yang akan dibahas pada bahasan-bahasan selanjutnya. Salah satu konsepnya adalah nilai guna marjinal atau marginal utility yang menghitung pertambahan tingkat kepuasan dari pertambahan satu unit barang yang dikonsumsi. Baca lebih lanjut di:

Diskusi

Meskipun teori subjektiflah yang diterima pada ilmu ekonomi modern, akan tetapi kadang kita masih menggunakan teori objektif untuk memberikan nilai pada suatu barang. Misalnya produsen masih menggunakan konsep HPP (seluruh biaya) + laba = harga jual, padahal kita tahu bahwa nilai tidak ditentukan dari banyaknya kerja. Selain itu kita juga seringkali mendengar kutipan "hasil tidak akan mengkhianati usaha" seolah-olah banyaknya kerja kitalah yang akan menentukan nilai produk kita. Kemudian dalam menilai sekuritas (misalnya saham) orang-orang masih menggunakan konsep nilai intrinsik.

Kutip materi pelajaran ini:
Kontributor Tentorku, 2019, https://www.tentorku.com/teori-nilai-dalam-ilmu-ekonomi/ (diakses pada 09 Dec 2023).

Materi pelajaran ini bukan yang Anda butuhkan?
Anda bisa mengirimkan saran pada Tentorku di akun fb/twitter/google kami di @tentorku.
Topik dengan voting komentar terbanyak akan mendapatkan prioritas dibuatkan pembahasan.

Avatar photo
Tentorku

Penerbit Tentorku adalah penerbit artikel pendidikan online berkualitas. Tentorku percaya bahwa setelah proyek perpustakaan online ini selesai, Indonesia akan menjadi jauh lebih pintar! Semua konten tulisan, gambar, dan video pada situs ini adalah hak cipta Tentorku, kecuali dinyatakan khusus secara tertulis. Hak cipta dilindungi oleh DMCA dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Articles: 125